Asah Kecerdasan EQ (Emotional Question) sebagai Modal Kemampuan Daya Pikir dan Tanggap Anak

| On
September 28, 2019

“Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan”. [Tan Malaka]

Bicara soal pendidikan itu memang luas banget, dan memaknai kata “belajar” pun nggak cukup satu kalimat. Malahan, ada sebuah kata mutiara yang bunyinya “Tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang lahat (mati)”.


Rumah adalah lokasi pendidikan pertama dan utama bagi seorang anak. “Al Ummu madrosatul uulaa” yang artinya ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Dimulai dari rumah jugalah banyak hal yang bisa digali oleh seorang anak terutama dalam masa tumbuh kembangnya.

Masa-masa tumbuh kembang anak yang tidak bisa diulang inilah yang harus orangtua manfaatkan dengan sebaik mungkin. Bahkan, saya pun sudah sampai merasa “anak-anak kok udah pada besar aja, ya. Rasanya, kemarin masih bayi, masih digendong-gendong”. Tuh, perasaan yang kerap saya rasakan saat ini.


Tapi, saya sendiri pun masih merasa kurang banyak waktu menemani anak-anak dalam bermain, saking kejar-kejaran sama tugas lain di kantor juga di rumah. Maklum, nggak pakai jasa ART, jadilah semua tanggung jawab rumah dikerjakan bersama oleh penghuni rumah termasuk anak-anak, kadang-kadang. Walaupun, endingnya saya kerjakan ulang. #LOL

Repot gak sih? Kalau bicara repot, semua hal pasti ada repotnya. Tapi, berusaha mungkin jangan sampai diambil pusing, nikmati saja semua hal yang kita lakukan, termasuk bersama anak-anak. Positifnya, melihat anak-anak kita bergerak aktif bisa bantu ibunya, main sampai capek, tandanya anak-anak kita sehat. Alhamdulillah

Selain bahagia melihat anak sehat, tentunya sebagai orangtua, kita juga bahagia melihat anak-anak tumbuh cerdas secara intelegensi. Orangtua mana yang gak bahagia melihat anak bisa raih juara kelas? Saya yakin, semua orangtua bahagia sekaligus bangga.

Lalu, apakah tolok ukur kecerdasan anak hanya dilihat dari cerdas secara intelegensi alias aspek IQ? Nah, ternyata masih banyak loh orangtua yang masih memandang bahwa patokan anak cerdas itu dilihat dari tingginya nilai IQ.

Sedangkan, menurut informasi yang saya dapatkan, kecerdasan itu justru bukan hanya IQ tapi juga EQ (Emotional Question) yaitu kecerdasan sisi emosional. Bahkan, ada pendapat lain juga, termasuk memiliki kecerdasan SQ (Spiritual Question).

Tapi, dalam tulisan ini saya hanya akan fokus kepada IQ dan EQ sebagaimana informasi yang saya dapatkan, ya.

Sebelum saya bagikan informasi dari ahlinya, kita ingat-ingat lagi, yuk. Apa itu IQ dan EQ?

Kalau boleh saya jelaskan ulang pakai pemahaman sendiri, IQ alias kecerdasan intelektual yaitu kecerdasan yang sifatnya kognisi alias pengetahuan. Mudahnya, kalau anak kita bisa baca, bisa ngitung, bisa hafal, bisa menjawab soal-soal ujian, nah ini yang berperan adalah kemampuan intelektualnya.

Sedangkan, EQ adalah kecerdasan yang meliputi sisi emosional. Mudahnya, anak kita menangis, tertawa, marah, bisa mengungkapkan perasaan yang sedang dia rasakan, ini yang berperan adalah sisi kecerdasan emosionalnya.

IQ dan EQ ini tentunya harus saling kerjasama jika kecerdasan bisa dikembangkan secara optimal dan tentunya seimbang. Nggak mau kan, anak kita bisa jadi juara kelas tapi nggak punya empati, cuek, lihat temannya kesusahan nggak mau bantu? Oh, No. Padahal, orangtua dan guru sudah kasih didikan di masing-masing tugasnya.

Karena itulah, mengembangkan kecerdasan emosionalnya nggak kalah penting terutama di zaman sekarang dan kelak di masa depan ketika anak-anak kita tumbuh dewasa. Sehingga, kemampuan mereka bisa tumbuh dan berkembang secara optimal.

Gimana, udah paham ya Mak, sampai sini tentang IQ dan EQ…

Nah… Seperti yang saya sampaikan tadi, saya mau bagikan informasi yang saya dapatkan selama diskusi parenting di grup WhatsApp Kumpulan Emak Blogger dari ahlinya yaitu seorang Psikolog, namanya Mba Binky. Mba Binky ini Psikolog dari Rumah Dandelion.

Supaya mudah memahaminya, saya tulis kembali dari pembahasan dalam bentuk QnA. Silahkan di simak, ya.

Q: Jadi nih mbak, selama ini kan pasti sudah banyak ibu-ibu yang tahu, bahwa kecerdasan emosional sangat penting, tapi tetap kan banyak juga pendapat bahwa kecerdasan IQ dan EQ itu harus seimbang, nah sebenarnya secara detail apa sih kecerdasan IQ & EQ itu mbak?

A: Yak Mak Icoel, jadi... IQ atau Intelligence quotient adalah kemampuan kognitif seseorang, sesuai dengan kelompok usianya, yang dapat membantu ia dalam menyelesaikan tantangan hidup sehari-hari. Atau bisa juga dijelaskan sebagai kemampuan berpikir anak dalam menentukan apa yang bisa ia lakukan dalam membantu lingkungannya.  

Sedangkan EQ atau sering kita kenal dengan sebutan kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang dalam mengenali emosi yang dirasakan diri sendiri dan orang lain, serta tahu bagaimana respon yang tepat atas emosi tersebut.

Q: Okey, jadi secara sederhana EQ itu terkait dengan rasa marah, rasa ingin mengungkapkan pendapat pada seseorang atau anak gitu  ya. Contohnya seperti itu ya mbak?

A: iya marah itu salah satu contoh emosi.. sama seperti bahagia, sedih, terharu, terkejut, dan sebagainya.

Q: dari keduanya, mana yang lebih penting mbak? atau keduanya sama penting? KArena terkadang kita sering melihat banyak orang tua sangat bangga melihat hasil tes IQ anak dengan angka yang fantastis, dan sebagian lagi minder karena ternyata tes anaknya tidak terlalu tinggi IQ-nya.

A: Iya betul.. Kedua hal ini tentu sama pentingnya dan saling berkesinambungan dalam membantu anak menjadi cepat tanggap yang lengkap.

Bagaimana caranya? Jadi dengan adanya EQ, anak menggunakan hatinya dalam melihat situasi bermasalah dalam lingkungan, yang kemudian memunculkan keinginan membantu. Namun, keinginan saja tentu tidak cukup, anak perlu tahu apa yang bisa ia lakukan untuk membantu. Dan untuk ini, dibutuhkan *IQ*. Jadi memang IQ dan EQ adalah 2 hal yang sama pentingnya dan perlu dikembangkan bersamaan sejak anak usia dini.

Q: Okey mbak, jadi makin penasaran nih bahas tentang EQ lebih jauh.

Sebelum membahas lebih jauh tentang bagaimana mengembangkannya, anak cerdas secara emosional biasanya ditunjukan dengan perilaku seperti apa sih mbak?

A: Anak yang cerdas secara emosional, mungkin paling mudah kita lihat dari kemampuan seseorang dalam berempati.

Kan sering ya kita dengar orang berkomentar “kok ga ada empatinya sih?”

Empati itu apa? Empati adalah respon emosi dan berpikir yang kompleks terhadap kondisi emosional orang lain. Dengan memiliki empati, maka seseorang dapat melakukan ketiga hal ini, yang menjadi bentuk perilaku dari EQ
• merasakan apa yang dirasakan orang lain
• bersimpati
• melihat situasi dan berusaha menyelesaikan masalah dari sudut pandang orang lain

Q: Kemudian bagaimana sih hubungan antara EQ dan IQ ini? Apakah anak cerdas secara emosional, daya pikirnya juga bisa bisa meningkat?

A:  Sangat bisa mak. Salah satu contohnya, anak yang cerdas secara emosi, dapat mengarahkan dirinya sendiri untuk menjalani proses belajar di sekolah dan lingkungan agar daya pikirnya meningkat.

Bayangkan seperti ini, ketika di sekolah anak sedang bosan, jenuh, atau stress dengan tugas/tuntutan sekolah lainnya, tentu akan berpengaruh pada semangat dan motivasinya dalam belajar. Nah anak yang memiliki kecerdasan emosi, dapat membantu dirinya sendiri untuk mengatasi masalah tersebut dan tetap optimal mengikuti proses belajar.
Dengan cerdas secara emosi, maka anak memiliki kemampuan regulasi (mengelola) diri yang baik (termasuk dalam hal emosi), yang membantu untuk menjalani tanggung jawabnya sehari-hari.

Q: Wah, ternyata sepenting itu EQ untuk anak, termasuk perannya dalam aktivitasnya belajar di sekolah dan lingkungan belajar lainnya. Kalau di lingkungan sosial dan pergaulan, anak cerdas emosi akan punya perilaku seperti apa ya mbak?

A: Kalau di lingkungan sosialnya, anak dengan cerdas emosi diharapkan mampu untuk berempati terhadap kesulitan yang dimiliki orang lain. Dan melalui empati ini, anak akan bisa memunculkan perilaku prososial, yaitu perilaku membantu orang lain tanpa pamrih.
Perilaku prososial itu sendiri bentuknya bisa salah satu dari 3 hal ini, yaitu menolong, berbagi, dan bekerja sama.

Q: Jadi secara garis besarnya, anak dengan kecerdasan emosi yang baik akan lebih mudah memiliki rasa ingin membantu orang lain ya mbak?

A: Kurang lebih begitu. Tapi tetap dibutuhkan bantuan orang tua untuk anak jadi mau membantu. Dan bantuannya ga sekedar orangtua secara verbal ngingetin anak untuk bantu. Tapi kesempatan belajarnya pun ada.
Tahukah mak-emak disini bahwa sebenarnya ada prosesnya untuk orang mau membantu? Prosesnya seperti ini:
1. Menyadari adanya situasi bermasalah
2. Menilai situasi tersebut butuh dibantu
3. Menyadari adanya tanggung jawab diri untuk membantu
4. Tahu apa yang perlu dilakukan
5. Memutuskan untuk membantu

Jadi sebelum anak akhirnya bisa membantu, dia perlu belajar dari orangtua dan lingkungannya untuk mengenali adanya situasi bermasalah dan apa yang bisa dilakukan dalam situasi tersebut.

Q: Jadi nih mbak, secara garis besar bahwa empati adalah rasa terbentuk dari EQ yang baik kan ya, tapi terkadang yang terpatri dalam pikiran kami sebagai orang tua dan orang dewasa lainnya, "perasaan" itu kan identik dengan orang dewasa, atau remaja lah minimal

Padahal sebenarnya dari kecil sudah bisa muncul perasaan itu, sebenarnya mulai dari usia berapa sih mbak? Empati bisa dilakukan oleh anak.

A: iya Mak.. Tapi ternyata dari bayi baru lahir pun ia sudah memiliki empati. Cuma memang bentuk empatinya tentu berbeda dengan empati yang ditunjukkan anak besar. Dan cara mengembangkan EQ itu pun disesuaikan di tiap kelompok usia anak. Melalui pengalaman belajar, cerita di buku, bermain peran, dan terutama mencontoh orang tua dan orang lain di lingkungan, maka EQ anak pun akan terstimulasi.

Q: Wah ternyata bahkan sudah mulai dari bayi, empati sudah bisa dirasakan/diterima.
Contoh empati di usia bayi seperti apa aja nih mbak? Langsung penasaran jadinya.

A: hehehe penasaran ya anak bayi empatinya gimana.. Di usia ini, bayi berada di tahap perkembangan empati yang disebut dengan nama Newborn Reactive Cry.

Pernah ga mengalami tangisan bayi yang menular? Misalnya lagi ngumpul nih ama teman-teman ibu yang punya bayi-bayi seumuran, lalu ada 1 bayi nangis, yang lain ketularan juga deh jadi nangis berjamaah. Hal ini terjadi karena bayi yang baru lahir bereaksi atas emosi yang dimunculkan oleh bayi atau orang lain di sekitarnya.

Atau anak bayi yang terpengaruh emosi ibunya yang sedang sedih atau stress.. biasanya bayi akan cenderung ikutan rewel.

Q: Okey, jadi ternyata ada tahap-tahapannya ya mbak perkembangan empati pada bayi ini.
Kalau bisa dijelaskan secara detail, memangnya ada berapa tahap nih mbak?

A: Iya, tahap perkembangan empati terbagi ke dalam 4 tahap sesuai dengan usia anak:
1. Newborn reactive cry (usia 0-1 tahun)
2. Egocentric empathy (usia 1-2 tahun)
3. Half egocentric empathy (mulai berkembang usia 2 tahun keatas)
4. Veridical empathy distress (mulai berkembang di usia 3 tahun ke atas)
5. Empathy beyond situation (berbeda-beda tiap anak, tergantung stimulasi lingkungan)

Q: Nah, tadi kan sudah kita bahas tentang tahap pertama. Untuk yang kedua dan ketiga, ada egocentric dan setengah egocentric, ini bagaimana penjelasan dan bentuknya ya? Karena ada kata "ego" gitu, kan jadi khawatir juga kalau egoisnya anak jadi salah tempat nantinya 😁

A:  hehehe iya.. Jadi di kedua tahap ini anak mulai dapat melihat masalah yang dialami oleh orang lain, tapi yang membedakan adalah cara mereka dalam mengatasi masalah tersebut.

Jadi anak usia 1-2 tahun menunjukkan kemampuan empatinya sebatas pada kemampuannya mengenali distress atau ketidaknyamanan yang dialami orang lain tapi usaha penyelesaiannya adalah self comfort.

Jadi misalnya lihat temannya nangis, alih-alih menenangkan teman, anak justru cari mamanya dan minta peluk untuk tenangin diri dia.

Sedangkan yang setengah egocentric itu, perilaku membantu sudah ditunjukkan, yaitu menenangkan si teman yang nangis. Tapi caranya adalah cara dia. Jadi misalnya, untuk menenangkan si teman yang nangis, anak kita justru kasi mainan kesukaannya atau minta mamanya untuk peluk si teman ini.

Q: Wah lucu juga ya 😅
Jadi si anak menenangkan temannya, tapi dengan cara dia, bagaimana dia merasa tenang dan nyaman selama ini, begitu yang dia terapkan ke temannya ya mbak?

A: Yes! Benar sekali Mak Icoel, jadi belum membantu dengan cara atau solusi yang sesuai dengan kebutuhan orang lain tersebut. Makanya masih disebut dengan setengah egosentris.

Q: Terus kalau masalah veridical atau ketulusan, jadinya bagaimana nih mbak?

Karena sebagai orang tua, seperti saya contohnya pasti selalu banyak berharap anaknya akan bisa melalukan atau bersikap demikian

A: Iya, jadi kalau ditahap ini, interaksi dua arah sudah mulai terjadi antar anak-anak. Makanya juga biasanya mulai berkembang di usia 3 tahun, yang secara tahap perkembangan sosial, anak mulai bisa berinteraksi.

Q: Kalau bentuknya sendiri, veridical empathy ini seperti apa ya mbak?

A: Dengan pengalaman belajar dan stimulasi yang sesuai, biasanya anak usia 3 tahun mulai bisa mengenali emosi diri sendiri, emosi orang lain, memiliki keinginan untuk membantu dan bantuan yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan temannya.

Jadi proses trial & error mulai dilakukan disini. Lihat temannya nangis, mulai ditanya kenapa dan apa yang bisa dibantu, coba-coba misalnya ajak main. Kalau ga berhasil, beri pelukan, ga berhasil juga, coba panggil orang lain. Dan seterusnya sampai anak merasa bahwa masalah sudah teratasi. Di tahap ini lah terutama sekali pengalaman belajar dan mencontoh orang dewasa perlu dimiliki anak, agar ia tahu, dalam masalah tertentu, apa saja ya yang bisa dilakukan untuk menyelesaikannya.

Q: Wah, menarik banget membahas tentang tahapan perkembangan empati ini ya 😍

Oke, yang terakhir nih mbak, tentang empathy beyond situation, gimana nih maksudnya mbak?

A: Kalau di tahap 1-4 sebelumnya kan anak bereaksi atas situasi yang secara langsung terjadi di depan matanya. Kalau yang di tahap terakhir ini, cakupan empatinya sudah jauh lebih luas. Kemampuan empati anak semakin meluas tidak hanya kepada temannya secara individu tapi juga kepada lingkungan dan komunitas secara umum.

Misalnya melihat korban bencana alam di berita tv, lalu anak tergerak untuk memberikan bantuan sumbangan. Atau baru saja beberapa waktu yang lalu, anak saya lihat ada sekolah di daerah terpencil pulau Sulawesi yang lantainya tanah, dan buku serta alat tulisnya harus bergantian. Sedangkan anak saya, tidak hanya tidak perlu bergantian, bahkan dia punya berbagai pilihan untuk mau menggunakan alat tulis yang mana. Lalu muncullah inisiatif dia dan teman-temannya untuk membelikan alat tulis sejumlah murid di sekolah tersebut agar tidak perlu bergantian. Saya aja mungkin ga kepikiran 😁

Q: Oke, jadi memang kecerdasan emosi anak, terutama kemampuan empatinya perlu dikembangkan bertahap sesuai usia ya.

Tapi adakalanya, saya merasa saya adalah Ibu yang percaya diri, merasa bahwa sebenarnya anak saya punya empati yang baik, cerdas juga untuk tahu apa yang harus dia lakukan

Tapiii...tapi nih mbak, sering aku lihat dia tidak atau belum tentu perilaku dan rasa ingin membantunya keluar, dia terapkan dan lakukan, itu kira-kira malu, takut atau bagaimana ya mbak? Apa yang bisa kita lakukan sebagai orang tua?

A: Heheh iya jadi kepikiran sendiri ya. Pertanyaan bagus nih Mak Icoel.

Punya IQ dan EQ. Lalu bagaimana "memasaknya" agar anak memunculkan perilaku membantu orang lain dalam menyelesaikan masalah? Disini peran orang tua sangat penting karena ternyata, untuk perilaku membantu itu sendiri muncul, ada tahapannya lagi, ga Cuma di anak-anak, tapi juga di orang dewasa lho. Kita sebut biasanya disini dengan istilah “Train of thought” untuk berakhir pada munculnya perilaku.
Jadi untuk bisa membantu orang lain yang dibutuhkan (1) anak lihat ada situasi bermasalah. Lalu (2) menilai situasi bermasalah tersebut sebagai sesuatu yang perlu dibantu dan (3) melihat dirinya bisa membantu. Kemudian (4) tahu apa yang bisa dilakukan untuk membantu. Dan akhirnya (5) membantu. Untuk lebih mudahnya, lihat bagan berikut ini ya.

Foto bagan

Q: Dan kalau dari bagan ini, terlihat gambaran bahwa ketika anak sudah memutuskan untuk membantu, masih ada kemungkinan untuk tidak dilakukan, karena ada konsekuensi negatif. Contoh kongkritnya seperti apa kah mbak?

A: Contoh paling sederhana sebenarnya ketika kita ingin memberikan uang kepada pengemis yang kita lihat di jalan. Kemudian ada orang yang berkomentar “ngapain kamu kasinya ke dia?. Komentar orang itu lah yang disebut dengan konsekuensi negatif. Anak kemudian mengurungkan niatnya untuk membantu lagi di kemudian hari.

Coba kita lihat dari Melati Wijsen (di Bali), pada usia 12 tahun membuat gerakan Bye Bye Plastic Bag. Dari usia sangat muda sudah menunjukkan kepeduliannya terhadap sesama hingga mendapat penghargaan Bambi di Jerman. Bayangkan apa yang terjadi ketika niatnya untuk melakukan kebaikan Bye Bye Plastic Bags tidak disetujui dan didukung orangtuanya. Mungkin pengalaman belajar seperti diundang berbicara TedTalks di London dan berbicara di event PBB saat World Oceans Day di New York tidak akan pernah didapatkan Melati. Jadi memang respon orang tua atas inisiatif yang dimunculkan anak untuk membantu orang lain, sangat berperan penting dalam meningkatkan kepercayaan diri anak untuk membantu.

Q: Jadi memang peran orang tua paling utama dan sangat besar ya dampaknya pada kemampuan anak menunjukan kepedulian sosial atau empatinya. Langsung koreksi diri nih mbak, sudah melakukan yang terbaik belum ya 😁

A: Yak betul! peran orang tua memang yang utama.. Melati bisa menginisiasi gerakan Bye Bye Plastic Bag di usia 12 tahun, pastinya bukan terjadi begitu saja. Sejak kecil kecerdasan emosionalnya pasti sudah terbiasa dilatih dan diasah oleh orang tuanya dan membantu juga dalam mengembangkan daya pikirnya. Sehingga muncul perilaku besar atau “grand gesture” di usia 12 tahun tersebut. Bayangkan kalau dari kecil Melati pun tidak dibiasakan orang tua untuk melihat kesulitan yang terjadi di lingkungan, tidak dibiasakan turun tangan langsung dalam membantu orang lain, sepertinya akan sulit juga bila kemudian di usia 12 tahun dia muncul ide kebaikan sebesar itu.

Q: Sangat menarik bahasan dan sharing kita hari ini. Dan sebelum menutup sesi kali ini, kira-kira hal kongkrit apa  saja yang bisa kami para ibu-ibu lakukan, untuk melatih anak agar cepat tanggap terhadap lingkungan mbak?

A: Untuk melatih dan membiasakan anak agar bisa cepat tanggap terhadap lingkungan, maka orangtua bisa lakukan hal-hal dibawah ini:
    Children see, children do. Orangtua menjadi panutan anak agar muncul keinginan dari dalam diri anak untuk membantu.
    Asah kemampuan menyelesaikan masalah dengan stimulasi kemampuan berpikir anak agar kecerdasan akal dan kreativitasnya terus meningkat.
    Berikan pujian dan penghargaan atas usaha anak membantu orang lain agar ia semakin percaya diri dalam berinteraksi dan membantu orang lain.
    Konsistensi dalam memberikan kesempatan, pengalaman, dan penghargaan agar pengalaman belajarnya bisa terus terjadi.

Q: Waduh, benar-benar menarik sharingnya, dan rasanya mau terus aja nih mbak, tak berhenti 😁

A: Sama-sama Mak Icoel. Terima kasih atas kesempatannya berbagi. 😍

Sebagai penutup nih.. Semoga Mak-emak semua bisa memberikan pengalaman bermain dan belajar yang optimal untuk anak-anak agar daya pikir dan kebesaran hati berkembang dengan optimal juga yaa. Jangan lupa pastikan juga kebutuhan nutrisinya tercukupi agar anak bisa sehat belajar. Ketika kebesaran hati dan daya pikir saling terhubung, maka anak pun dapat tumbuh menjadi cepat tanggap, punya rasa peduli, dan tanggap bersosialisasi.

Kalau Mak-emak disini ingin mengetahui lebih lanjut lagi tentang cara mengembangkan kecerdasan emosi anak, bisa gabung di FB Live Bebeclub pada tanggal 2 Agustus 2019 jam 1 siang. Nanti kita bisa diskusi lebih banyak lagi yaa..

***

Panjang banget ya. Tapi, paparan yang disampaikan Mba Binky sangat menarik dan penting banget loh.

Yang nggak kalah penting juga, ternyata untuk mendukung kecerdasan EQ ini berkembang secara optimal, nutrisi bagi anak harus diperhatikan juga, nih. Karena, bagaimanapun juga nutrisi yang masuk ke dalam tubuh  sangat penting sebagai modal bagi berjalannya segala sistem termasuk perkembangan otak.

Saya rangkum informasi lain tentang nutrisi ini ya dari Facebook Live, dengan salah satu narasumber seorang dokter, yaitu  Prof. Dr. dr. Saptawati Bardosono, M. Sc. (Dokter Pakar Nutrisi).

Prof. Saptawati

Menurut Prof. Saptawati, saluran pencernaan yang sehat akan lebih baik dalam melakukan koordinasi dengan otak, karena di dalam saluran pencernaan pun kaya akan sistem saraf dan berhubungan dengan sistem saraf di otak. Sebagai contoh, jika saluran pencernaan dalam keadaan baik atau menyenangkan, maka sinyal yang dikirim ke otak pun akan bagus, dan efeknya adalah kepada kondisi emosional seorang anak itu menjadi bagus dan daya pikirnya terangkat.

Di dalam saluran cerna juga kaya akan bakteri baik, dimana si bakteri baik ini akan membantu mendorong saluran pencernaan untuk mengeluarkan neurotransmiter, yaitu senyawa yang akan menghantarkan sinyal/rangsang dari perut ke sistem saraf di otak.

Tentunya seseorang membutuhkan nutrisi umum baik itu karbohidrat, lemak, dan bahan lainnya untuk nutrisi otak. Serat juga tidak boleh dilupakan ya, karena kandungan serat bisa membantu kondisi saluran pencernaan lebih sehat dan ditambah adanya bakteri baik dengan jumlah dan kualitas yang bagus. Tapi, ada yang penting dan tidak boleh dilewatkan yaitu nutrisi yang lebih spesifik kebutuhan asam lemak esensial, seperti AA dan DHA.

AA dan DHA ini akan membantu menyelimuti struktur di saluran pencernaan, sehingga nantinya jika ada sinyal saraf dia akan cepat sekali dihantarkan ke otak.

Sayangnya, DHA ini sulit dibentuk oleh tubuh sehingga harus diberikan ekstra dari luar tubuh. Sumber utama banyak terdapat pada ikan laut. Hanya saja jumlahnya tidak banyak. Maka asupan DHA ini bisa kita dapatkan dari makanan yang diperkaya dengan DHA seperti susu.

Dampak jika kekurangan DHA secara spesifik, nantinya akan membuat respon anak menjadi lambat ketika diberi stimulasi yang mengasah kecerdasan emosional dan daya pikirnya.

***

So… Kemampuan emosional dan daya pikir anak juga dipengaruhi oleh nutrisi ya, Mak. Sebab, nutrisi nantinya akan memberikan stimulasi dari saluran pencernaan ke otak. Sehingga, respon anak lebih baik jika nutrisi yang masuk ke dalam pencernaannya juga baik.

Penting bagi kita sebagai ibu buat memastikan asupan buat anak-anak ya, Mak. Pastinya, kita berharap agar anak-anak punya respon yang cepat terhadap sesuatu yang mereka hadapi.

Makin lengkap informasi yang saya dapatkan, karena pada hari Jumat tanggal 16 Agustus 2019 lalu saya dapat menghadiri Family Date dari Bebeclub, acara yang berlangsung di Kantorkuu Coworking Space di bilangan Kuningan ini merupakan acara gathering ibu dan anak. Senang sekali saya bisa hadir di acara sebagus ini.

Booth untuk foto

Foto bersama anak

Acara Family Date bersama Bebeclub ini menghadirkan dua narasumber, yaitu Ibu Deska Hapsari Nugrahaini (Marketing Manager Bebelac Core) dan Psikolog Pendidikan Rumah Dandelion Ibu Binky Paramitha Iskandar, M. Psi. Psikolog.

Sebelum acara dimulai, anak-anak yang hadir melakukan minum susu bersama lebih dulu dipandu oleh MC. Asyik. Di sini anak-anak kelihatan sangat menikmati, loh.

Anak-anak bersama minum susu 

Seru kan, ada yang sampai habis ada juga yang baru setengah minum minta selesai. Hihi, termasuk Aura, anak saya.

Ini acara yang menurut saya enak sekali, karena acara ini selama sesi materi berlangsung buat para ibu, anak-anaknya melakukan permainan bersama-sama di sudut ruangan, seperti membuat hasta karya sederhana mobil-mobilan, melukis, dan menempel. Jadi, ibu-ibunya bisa fokus mendengarkan materi yang disampaikan narasumber.




Selagi anak-anak fokus bermain, ibu Deska menyampaikan bahwa nutrisi bagi anak sangat penting untuk menstimulasi kemampuan daya pikir anak. Sebab, hal ini tentu berpengaruh pada cepat lambat respon dari anak itu sendiri yang tentunya dipengaruhi dari nutrisi yang mereka dapatkan.

Ibu Deska, Marketing Manager Bebelac Core

“Bebelac berkomitmen untuk mendukung ibu dalam memberikan nutrisi dan stimulasi yang tepat, agar si kecil dapat tumbuh jadi anak hebat. Dimana daya pikirnya dapat berkembang bersama kebesaran hatinya”. Ungkap Ibu Deska.

Bebelac, sebagai susu pertumbuhan bagi anak merupakan susu dengan kandungan DHA terbanyak dibanding susu pertumbuhan serupa. Sedangkan, kita sudah bahas tadi ya, DHA ini sangat penting bagi nutrisi otak dan jika kekurangan dampaknya sangat merugikan. Karena, berhubungan dengan kemampuan respon anak nantinya. Sebab, stimulasi pertama dipengaruhi oleh kondisi saluran cerna yang merangsang sinyal di otak.

Seperti yang disampaikan oleh Ibu Binky,  Psikolog Pendidikan dari Rumah Dandelion. Setiap anak lahir dengan potensi akal dan hati yang baik, namun anak yang hebat akan melihat situasi masalah dengan menggunakan hatinya dan menyelesaikannya dengan aksi hebat melalui daya pikirnya.

Ibu Binky, Psikolog Rumah Dandelion


Hal ini tentu ada hubungan antara IQ dan EQ. Seperti apa? Apakah anak yang cerdas secara emosi dapat meningkatkan daya pikirnya?

Untuk mencapai itu, yang dibutuhkan adalah:

"EMPATI"


Yaitu respon afektif dan kognitif yang kompleks terhadap kondisi emosional orang lain. Dengan memiliki empati anak mampu:
  • Anak mampu merasakan yang dirasakan orang lain
  • Bersimpati 
  • Melihat situasi dan berusaha menyelesaikan masalah dari sudut pandang orang lain 

Empati akan memunculkan perilaku prososial, yaitu perilaku membantu orang lain tanpa pamrih. Seperti, menolong, berbagi, dan membantu orang lain.

Selain itu, anak dengan kecerdasan  daya pikir dan emosional yang baik akan mampu menjalani 5 tahap pengambilan keputusan untuk membantu orang lain, yaitu:
  • Menyadari adanya situasi bermasalah
  • Menilai situasi tersebut butuh dibantu
  • Menyadari adanya tanggung jawab diri untuk membantu 
  • Tahu apa yang perlu dilakukan 
  • Memutuskan untuk membantu 

Kelima tahapan ini akan dijalani anak ketika rasa empatinya berkembang dengan baik. Untuk menstimulasi ini banyak kegiatan yang bisa dilakukan, seperti kegiatan yang dikemas dengan permainan. Misalnya, dalam situasi bermain bersama anak lainnya. Pasti akan ada saat dimana adanya rebutan mainan, temannya terjatuh, dll.

Seperti kemarin saat acara Family Date, ada kegiatan yang disetting agar empati anak-anak yang hadir terstimulasi, seperti dengan sengaja berbagai alat diletakkan secara acak, berantakan. Ini tujuannya agar anak terdorong untuk mau membereskan.

Ternyata, hasilnya anak-anak mampu melakukan dan membereskan sesuai jenisnya, loh. Itu untuk anak-anak usia 2-4  tahun. Sedangkan, untuk anak 4-7 tahun, mereka dihadapkan pada kondisi tepung berantakan, meja kotor, dan mereka pun berhasil membersihkan dengan mengepel, melap meja yang kotor tadi. KEREN.





Karena anak perlu distimulasi, sebelum kegiatan berlangsung anak-anak dibacakan dongeng lebih dulu. Kata ibu Binky, dongeng bisa jadi salah satu cara menstimulasi daya pikir dan respon anak.

Anak-anak khusyu mendengarkan dongeng

***

Alhamdulillah, seru sekali acara Family Date bersama Bebelac. Anak-anak yang hadir juga nampak menikmati semua permainan dan para ibu juga jadi tambah ilmu dan pengetahuan lagi tentang mengoptimalkan kecerdasan daya pikir dan emosional anak.

So, tugas kita nih Mak, rajin-rajin memberikan stimulasi ke anak-anak kita, supaya rasa empati mereka tumbuh dan saat mereka dewasa nanti mereka lebih peka terhadap lingkungan dan kondisi orang lain.

Sharing yuk, upaya apa aja nih yang Mak-Emak sekalian sudah lakukan buat mengoptimalkan kecerdasan emosional anak di rumah?



Salam,
Amelia Fafu - Mama Energic
Be First to Post Comment !
Posting Komentar